Pena Pesantren

Memacu memberdayakan pesantren

ad

Tarekat Sebagai Respon Kultural


Judul : Ensiklope 22 Aliran Tarekat Dalam Tasawwuf
Penulis : K.H. Azis Masyhuri
Penerbit : Imtiyaz, Surabaya
Cetakan : I, Juli 2011
Tebal : xx+338 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq *

Sungguh beruntung Indonesia mempunyai tokoh sekaliber HB Yasin, karena selama hidupnya, H.B. Jassin juga dikenal sangat ahli dan tekun dalam mendokumentasikan perkembangan sastra Indonesia. Hasil jerih-payahnya saat ini dapat di temukan pada Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. dengan ketelatenannya mendokumentasikan sastra yang berserakan menjadi himpunan sastra yang tak ternilai harganya, Sehingga generasi selanjutnya, turut menikmati sastra peninggalan para pujangga masa lalu. Begitu juga Nahdlatul Ulama sangat beruntung mempunyai KH. A Azis Masyhuri yang dengan telaten mendokumentasikan tentang ke-NU-an, hal ini di akui oleh Martin Van Bruinessen, peneliti senior Universitas Utrecht Belanda, yang rajin menulis tentang NU.

Buku Ensiklopedi 22 aliran tarekat dalam tasawwuf karya kiai yang produktif ini, memuat berbagai aspek esotoris maupun eksotoris 22 aliran tarekat yang sudah masyhur : Alawiyah, Ahmadiyah Badawiyah, Aidrusiyah, Chistiyah, Dasuqiyah, Ghazaliyah, Haddadiyyah, Idrisiyah, Khaltiyah, Malamatiyah, Maulawiyah, Naqsabandiyah, Naqsabandiyah Haqqaniyah, Qadiriyah, Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, Rifa’iyah, Sammaniyah, Sanisiyah, Suhrawandiyah, Syadiliyah, Sattariyah dan lain-lain.

Tidak hanya itu, penulis buku ini begitu detail menceritakan asal-usul berdirinya aliran tarekat, siapa pendiri, bagaimana ajaran, tempat tumbuh dan berkembang dimana aliran tarekat tersebut. Sedangkan Tasawwuf sendiri merupakan bentuk mistisisme dalam Islam. Tasawwuf bukanlah satu tatanan ajaran, tetapi lebih sebagai mudus pemikiran dan perasaan dalam kerangka agama. Pada awal kemunculannya, mistisisme Islam menampilkan suatu reaksi perlawanan terhadap upaya intelektualisme dan formalisme ajaran Islam dan al-Qur’an yang berkembang sebagai konsekuensi. Secara psikologis landasannya harus dicari dalam hasrat besar manusia untuk menyingkap kebenaran tuhan dan kebenaran agama, upaya untuk mendekati Tuhan secara langsung, serta pengalaman yang lebih personal dan lebih mendalam tentang kedua kebenaran itu.

Pada mulanya, tasawwuf berkembang sebagai gaya hidup aksetis, lebih khusus lagi komtemplatif, pada abad kedua Hijriyah dan seterusnya tasawwuf berkembang menjadi gerakan sinkretis, menyerap berbagai elemen dari kristen, Neo-Platonik, Gnotisisme, dan Budhisme, serta berkembang melalui tahap-tahap mistis, teosofis, dan panteistis. Pakaian wol (shuf) diadopsi sebagai pakaian khas mereka, meniru para pendeta kristen yang juga menjadi model penerapan gaya hidup selibat yang tidak pernah diterapkan sebelumnya oleh kalangan muslim ortodoks.

Kelompok sufi (tarekat) yang berkembang pada abad tiga belas mengembangkan konsep relasi antara guru (syaikh) dengan muridnya. Adapun ritual keagamaan dalam tarekat adalah dzikir, merupakan ritual yang sangat rumit dan berbeda dengan praktik dari berbagai ajaran agama lain.

Seperti dalam pengantar buku oleh K.H. Said Agil Sirajd, bahwa tasawwuf merupakan bentuk perlawanan dari merajalelanya penyimpangan yang dilakukan penguasa dengan dalih agama demi tujuan pribadi dan gaya hidup mewah yang menjadi kebiasaan para raja dengan membuang sisi dari ajaran agama yang tidak sesuai dengan kehendak pribadi. Sejak saat itu dan seterusnya, sejarah mencatat adanya kebangkitan pembaharuan serta militansi yang kian lama kian mantap dikalangan umat islam yang tulus, untuk mengembalikan pesan orisinil dan sakral yang dibawa nabi Muhammad. Seorang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam.

Kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi luar (lahiriyah) dan realitas yang bersifat fisik dengan dimensi yang tak beruang dan berwaktu (batiniyah) yang hanya dapat dialami oleh kedirian sebelah dalam manusia. Seorang sufi hidup laksana puncak gunung es yang nampak dalam dunia kasat mata. Namun, demikian, juga memiliki aspek-aspek dunia yang terselubung dan tersembunyi oleh indera yang justru merupakan fondasi dari yang terlihat nyata sekaligus bentuk realitas lain yang tidak kasat mata.

Ia akan melakukan yang terbaik guna memahami hukum-hukum kausal dan kehidupan sebelah luar yang bersifat fisik sekaligus meresapi guna meningkatkan kesadarannya terhadap “realitas” sebelah terdalam yang “maha luas” yang berarti meliputi dunia yang diketahui maupun tidak, serta menggabungkan realitas yang nampak dengan yang tidak nampak dan dunia yang beruang serta berwaktu dengan dunia yang tidak beruang dan berwaktu.

Itu sebab kehidupan sebelah dalam seorang sufi tanpa ada batasnya. Namun demikian, ia tetap mengakui dan menerima batasan-batasan lahiriyah dengan menghormati hukum alam. Seorang sufi sepenuhnya riang dengan kebahagian yang tiada tara dalam jiwanya. Secara lahiriyah, para sufi berjuang kearah kualitas hidup yang lebih di muka bumi dan melakukan yang terbaik tanpa memperlihatkan secara berlebih-lebihan terhadap hasil akhir. Dengan kata lain, mereka memancarkan cahaya dan kesadaran hati manusia serta penghormatan dan pengabdian secara lahiriyah bagi kemanusian.

Tokoh-tokoh Sufi dengan aliran dan ajaran banyak sekali bahkan Islam Nusantara tidak ketinggalan, ada Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Abdurrauf al-Singkili, Syekh Khotib Sambas, Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Saleh Darat, ada banyak kitab-kitab yang ditulis oleh tokoh tersebut dan menjadi rujukan dan berperan besar dalam transformasi ke-Indonesian. Bahkan di Jawa proses islamisasi dengan tarekat sufi berkembang pesat sebagai pendukung imperium islam. Karena sufi di Nusantara dikenal sebagai cendikiawan yang berwawasan luas, penulis kreatif dan produktif serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan.

Wal-hasil, melalui buku karya ulama produktif sekaligus ahli dukomentasi NU ini, merupakan sebuah pencapaian yang sangat luar biasa, karena bukuse tebal 338 halaman, diulas dengan padat, buku ini menyajikan gambaran kompreherensif tentang tarekat dan dunia sufisme. Artinya, melalui karya munomental ini, membuktikan kecakapan dan pengetahuan yang luas tentang tarekat-tarekat dan tokoh-tokoh sufi.Sehingga buku ini patut mendapat apresiasi dan layak menjadi bacaan bagi pembaca umum, para sarjana, peneliti atau siapapun yang berminat dengan dunia tarekat dan kesufian.

*)Penulis adalah Direktur Pena Pesantren dan Aktif pada Pondok Budaya Ikon Surabya.
Read More “Tarekat Sebagai Respon Kultural”

Membelah Hukum Minoritas


Judul : FIQIH MINORITAS, Fiqh Al- Aqalliyat Dan Evolusi Maqashid
Al-Syari’ah Dari Konsep Ke Pendekatan
Penulis : Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA.
Pengantar : Prof. Dr. Abd. A’la, MA.
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Cetakan : I, Desember 2010
Tebal : xxvi+322 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq *

Wacana pembaruan hukum Islam sebenarnya bukanlah masalah baru, dan perdebatan tentang ijtihad pun bukan sesuatu yang asing. Dialog hukum Islam (fiqh) dengan perkembangan sosial juga sudah sering dilakukan. Munculnya nama-nama pembaru hukum Islam modern dan istitusi hukum-hukum Islam modern dan institusi-institusi hukum Islam yang aktif mengkaji hukum-hukum aktual adalah bukti masih hidup hukum Islam, walaupun sempat redup dalam beberapa periode. Namun, lemahnya kajian ushul fiqh yang mengusung spirit ijtihad telah menutup pintu kreativitas para cendikiawan untuk berani memberikan tafsiran-tafsiran baru yang sesungguhnya dibutuhkan oleh muslim kontemporer dengan dinamika kehidupan yang serba cepat.

Sejatinya, hukum dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia, tak terkecuali hukum Islam yang diyakini bersumber dari al-Qur’an, hadits, ataupun imam-imam madzhab (fiqh). Apabila hukum tidak lagi mengcover kepentingan maslahah umat manusia, saat itu pula hukum perlu ditinjau kembali dan selanjutnya dibuat hukum yang baru dan lebih akomodatif , dengan tetap tidak menafikan ajaran-ajaran prinsipil agama, yang dalam khazamnah fiqh disebut kulliyatul khams (perlindungan agama, nyawa, keturunan, harta dan akal). Hal inilah yang kemudian menjadikan fiqh aqalliyyat mendapatkan perhatian besar, baik pada tataran produk hukum, metodelogi, maupun, implikasinya.
Buku ini dalam diskursus hukum Islam di Indonesia bisa disebut sebagai buku pertama yang secara khusus mengkaji maqashid al-syari’ah sebagai metode pendekatan. Selama ini kita hanya memposisikan maqashid al-syaria’ah sebagai kerangka nilai yang mendasari setiap produk hukum, lalu berpegang pada kaidah ushul dalam proses istibath-nya. Maqashid al-syari’ah dalam buku ini telah berevolusi dan bermetamorfosis sebagai sebuah pendekatan metode pendekatan guna mengasilkan produk-produk hukum Islam yang kompetibel dengan kebutuhan masing-masing komunitas, sehingga melahirkan apa yang disebut fiqih minoritas (fiqh aqalliyat) yang khusus diperuntukkan bagi masyarakat minorotas Muslim yang hidup di Barat.

Karena itu, urgensi fiqh ini akan terasa apabila kesulitan dan problematika hidup sebagai minoritas muslim di tengah masyarakat mayoritas non-muslim dapat dipahami dengan baik. Problematika sosial, politik, budaya, dan agama yang mereka hadapi membutuhkan kajian khusus dan mendalam sebagai satu-kesatuan masalah. Fiqh aqalliyat akan menjadi jawaban atas masalah ini apabila ia mampu menjadi serangkaian aturan yang utuh bagi kehidupan keagamaan masyarakat minoritas muslim.

Meski fiqih minoritas (fiqh aqalliyat) sebenarnya bukanlah suatu bentuk fiqh yang seratus persen baru dan terpisah dari fiqih tradisional. Fiqih minoritas hanyalah salah satu cabang dari ilmu fiqh yang luas dalam Islam (fiqh makro). Ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur’an , sunnah, ijma’ dan qiyas. Ia juga menggunakan metodelogi ushul fiqh yang sama dengan fiqh lainnya. Karena itulah, fiqh minoritas ini tidak perlu ditakuti atau bahkan dicurigai.

Memang, penulis buku ini bukanlah penggagas pertama hukum Islam semacam itu (fiqh aqalliyyat). Adalah Thaha Jabir Al-Alwani dan Yusuf Qaradhawi yang dianggap sebagai penggagas fiqih ini. Meski demikian, kehadirannya memiliki signifikansi tersendiri, malalui karya ini, penulis menegaskan bahwa ajaran Islam itu universal. Universalisme ajaran Islam berupa nilai-nilai moralitas yang luhur yang bertumbuh kukuh dalam maqashid al-syari’ah.

Dalam tataran ini Islam adalah satu. Meminjam konsep Bassam Tibi, dalam bentuk seperti itu Islam merupakan model reaty yang menampakkan diri lebih sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, absolute, dan bersifat metahistoris. Oleh karena itu, tugas mujtahid untuk melabuhkan ke dalam realitas konkret melalui kontekstualisasi model for reality tersebut ke dalam pemaknaan yang berkolerasi dengan lokalitas dan temporalitas tertentu. Dengan demikian, Islam bukan sekedar berada di langit angan-angan, atau sekedar archaism yang tidak bisa berdialog dengan tempat dan waktu, atau tak lebih dari sekedar utopian. Islam seutuhnya hadir sebagai agama kehidupan untuk maslahatan dan kehidupan umat manusia.

Seperti yang dijelaskan dalam karya Ahmad Imam Mawardi ini, bahwa fiqh aqalliyat didesain untuk memberikan panduan tentang hal-hal yang dilarang dan yang boleh bagi minoritas muslim di negara Barat, yang tidak bersistem pemerintahan Islami. Memang, fiqh pada masa awal memang identik dengan syari’ah, meliputi segala dimensi ajaran agama. Pada perkembangannya, fiqh hanya berisikan hukum-hukum Islam murni, dengan tidak memasukkan bidang aqidah yang dianggap sebagai wilayah kajian teologis, dan akhlak pada wilayah kajian moral atau etika. Perkembangan fiqh pada masa berikutnya terpengaruh oleh trend spesialisasi yang merupakan jargon profesionalisme di berbagai bidang sehingga melahirkan pembidangan yang lebih spesifik tentang wilayah kajian fiqh. Fiqh aqalliyat sendiri merupakan sebagai trend kontemporer kembali memadukan semua bidang.(hal, 124)

Hal inilah, yang menjadi perbedaan signifikan dari fiqh pada umumnya adalah fiqh minoritas ini merupakan salah satu produk fiqh geografis yang terlahir dari perspektif yang berbeda tentang maqashid al-syariah. Artinya, maqashid al-syariah dalam fiqh ini, lebih diposisikan sebagai metode pendekatan ketimbang sebagai konsep nilai agung, seperti fiqh umumnya dalam fiqh tradisional. Produk hukumnya pun berbeda. Kalau fiqh umumnya, produk hukumnya didasarkan pada hujjiyah nash (otoritas nash), maka produk hukum dalam fiqh aqalliyat didasarkan pada hujjiyah al-maqashid (kekuatan nilai-nilai tujuan syara’) yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemadharatan.

Komitmen keislaman subtantif dan disertai oleh kemampuan penulis buku ini, dalam merangkai karya, sangat menarik untuk dicermati. Sisi-sisi dan nilai-nilai keislaman secara holistik terpampang dari satu uraian ke uraian berikutnya. Ia menggugah kita untuk meyakini dan membumikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, secara sosial, budaya, agama, dan berbagai aspek lainya. Dan bagi kalangan non-muslim dapat menambah pemahaman dan meyakini bahwa Islam itu sebenarnya identik dengan nilai-nilai al-akhlaq dan al-shalihah yang ditujukan bagi terwujudnya kemaslahatan bersama.

*) Penulis santri Pesantren LUHUR AL-HUSNA dan redaktur Pena Pesantren Surabaya
Read More “Membelah Hukum Minoritas”

Jejak Sjahrir yang Terlupa


Judul : Mengenang Sjahrir. Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan
Penulis : H. Rosihan Anwar
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : I, Marat 2010
Tebal : 508 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Kedewasaan berpikir suatu bangsa dapat diukur dari sikap terbuka untuk membicarakan kembali secara rasional dan wajar tokoh-tokoh sejarahnya. Pembicaraan kembali itu menunjukkan adanya kebutuhan rohani untuk meninjau kembali penilaian mereka sehingga dapat dicapai suatu persepsi yang lebih matang tentang tokoh-tokoh yang bersangkutan. Usaha ini mencerminkan dinamika bangsa itu, yang senantiasa berikhtiar untuk wawas diri dalam rangka mengenal diri secara lebih mendalam. Dari pengenalan diri itu diharapkan tumbuh strategi pembangunan manusia dewasa.

Tema sentral buku Sjahrir yang ditulis oleh wartawan senior, dari kumpulan karangan ini adalah seorang tokoh nasional yang secara menentukan telah memberi arah dan isi kepada arus revolusi Indonesia dalam suatu kurun sejarah yang penuh emosi dan kekacauan. Jangka waktu hidupnya yang merentang lebih dari setengah abad (lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909 dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss) penuh dengan tantangan dan perjuangan. Dia tumbuh sebagai manusia utuh. Dia menjadi korban orang yang bersikap tak acuh dan membencinya, sekaligus menjadi pujaan banyak orang yang mengagumi dan mencintainya. Penilaian yang objektif terhadap tokoh yang sudah meninggal ini sekarang sangat dibutuhkan oleh generasi tua dan muda. Dan bangsa ini ditantang untuk mengukur kedewasaan berpikirnya dalam menilai kembali kepribadian Sjahrir.

Sjahrir, menyelesaikan sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan pada 1926. Sejak remaja, ia sudah menggemari berbagai buku-buku asing dan novel Belanda. Juga senang seni, dimana kadangkala ia mengamen di Hotel de Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu kulit putih. Setamat dari MULO, ia masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung. Di sekolah ini, bakat seninya makin berkembang setelah dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis). Di sini, ia berperan sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor.

Dalam perjalanannya, akhir tahun 1931, Syahrir kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang kemudian pada Juni 1932 dipimpinnya. Ia pun mempraktekkan dunia proletar di tanah air. Ia terjun dalam pergerakan buruh. Juga banyak menulis tentang perburuhan dalam Daulat Rakyat. Juga sering berbicara perihal pergerakan buruh dalam forum-forum politik. Kemudian, Mei 1933, Syahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Hatta menyusul kembali ke tanah air pada Agustus 1932. Hatta tampil memimpin PNI Baru bersama Syahrir. Organisasi ini berhasil mencetak kader-kader pergerakan. Bahkan pemerintahan kolonial Belanda menilai, gerakan politik Hatta dan Syahrir dalam PNI Baru itu justru lebih radikal daripada gerakan Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Menurut polisi kolonial, PNI Baru cukup setara dengan organisasi Barat. Meski tanpa aksi massa dan agitasi, tetapi secara cerdas, berhasil mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya.Sehingga, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda memenjarakan dan membuang Syahrirdan Hatta, serta beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Setelah hampir setahun Syahrir dan Hatta dipindahkan ke Banda Neira, di sini mereka menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Pada masa pendudukan Jepang, Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Syahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Syahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang, oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.Di masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan." Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan. (hlm, 56)

Mengenang Sjahrir adalah kumpulan karangan dari kenalan-kenalan Sjahrir. Mereka memahami makna julukan "Bung Sjahrir", "Bung Kecil". Kata-kata itu menunjukkan hubungan emosional mereka. Bacaan ini tidak hanya dimaksudkan untuk generasi tua yang punya kenangan tentang Sjahrir, tetapi terutama untuk generasi muda yang ingin menentukan sikapnya sendiri terhadap tokoh-tokoh nasional. Setiap generasi merasa perlu menentukan sendiri makna sejarah setiap tokoh nasional dengan melihatnya dari sudut keperluan, aspirasi, dan nilainya sendiri.Usaha suatu bangsa untuk secara terus-menerus menginterpretasikan kembali sejarah nasionalnya memang sarana mutlak dalam meningkatkan kesadaran diri dan pengetahuan tentang diri sendiri. Dan kisah tentang tokoh sejarah seperti Sjahrir merupakan suatu contoh usaha semacam itu.

Buku ini, mengupas tuntas perjuangan seorang pahlawan yang sedemikian objektif, karenanya buku setebal 508 patut direkomendasikan dan dibaca pada sejarawan, akademis, mahasiswa dan siapa saja yang menaruh perhatian pada proses terbentuk republik ini. Dengan demikian, menjadi memoar yang tak terlupakan dari perjalanan putra terbaik bangsa Indonesia sepanjang masa.

*) Penulis adalah pengelola Pondok Budaya Ikon Surabaya
Read More “Jejak Sjahrir yang Terlupa”

Imam Syafe’i dalam Yurispundensi Islam


Judul Buku : FIQIH IMAM SYAFI’I
Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasar Al-Qur’an Dan Hadits
Penulis : Prof. Dr. Wahbah Zuhaili
Penerbit : Almahira, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2010
Tebal : 716 hal.
Peresensi : Ahmad Shiddiq Rokib*

Fiqih merupakan cabang ilmu keislaman yang mengkaji hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan ( hablum minallah) dan hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Kata “fiqih” sendiri secara bahasa berarti “paham”. seperti dikutip dalam hadits diatas, awal mulanya fiqih pengertian yang luas, yaitu pemahaman yang mendalam terhadap islam secara utuh. Definisi ini berlaku pada masa generasi sahabat dan tabi’i. Selanjutnya pada masa muta’akhirin (abad IV-XII H), fiqih mengalami penyempitan makna, menjadi “pengetahuan hukum syara’ yang bersifat alamiyah bersumber dari dalil-dalil yang spesifik”.

Pada periode Mutaakhirin ini, pula terjadi pelembagaan fiqih dalam beberapa madzhab. Ketika itu ada empat madzhab besar berkembang dan mampu bertahan hingga saat ini, yaitu Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab syafe’i dan Madzhab Hambali. Empat madzhab tersebut tersebar keseluruh dunia, termasuk di Indonesia. Berdasarkan sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Madzhab Syafe’i lah yang pertama kali di anut penduduk Nusantara. Dan saat ini mayoritas kaum muslimin indonesia bermadzhab Syafe’i.

Madzhab Syafe’i yang digagas oleh Muhammad bin Idris as-Syafe’i (150-204 H) mendapat apresiasi yang luar biasa dari umat Islam dunia. Madzhab ini dianut oleh kurang lebih 28 persen populasi muslim dunia, atau sekitar 439,6 juta jiwa dari 1,57 miliyar penduduk dunia. Penganut Madzhab Syafe’i tersebar di Mesir, Arab Saudi, Suriah, Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, Pantai Koromandel, Malabar, Hadramaut, dan Bahrain.

Tidak heran jika pengaruhnya sangat luar biasa dalam yurispundensi Islam sebab Imam Syafe’i memang dikaruniai kecerdasan istimewa, kemampuan nalar dan gaya bahasa yang luar biasa. Pada usia 20 tahun ia sudah hafal kitab “al-Muwaththa’” karya monumental Imam Malik. Imam Malik mengagumi Imam Syafe’i sembari berkata “wahai Muhammad (Syafe’i)” sesungguhnya Allah telah memancarkan cahaya hatimu, maka jangan engkau sia-siakan cahaya itu dengan maksiat. Esok akan banyak orang yang berdatangan untuk belajar kepadamu. Pujian Imam Malik benar menjadi kenyataan. Syafe’i kemudian Imam madzhab panutan umat diberbagai belahan dunia Islam, termasuk di Indonesia.

Madzhab Syafi’i, satu dari sekian banyak madzhab fiqih saat ini masih mendapat apresiasi luar biasa mayoritas kaum muslim dunia. Keunggulan utama madzhab Syafi’i terletak pada sifatnya yang moderat. Di awal pertumbuhannya, pendiri madzhab ini, Muhammad bin Idris as-Syafi’i (150-204 H), mengakomodasi dua aliran hukum islam yang berkembang saat itu, yaitu aliran tektualis (madrasatul hadits) dan aliaran rasionalis (madrasatur ra’y). Hasil kolaborasi keduanya dapat dilihat dari produk hukum Imam Syafi’i yang selalu mengacu pada subtansi nash (al-Qur’an dan as-Sunnah), kemudian dalam kasus tertentu dipadukan dengan dalil analogi (qiyas).

Sebagai bapak Ushul Fiqh, Imam syafi’i mewariskan seperangkat metode istimbath hukum yang berfungsi untuk menganalisasi beragam kasus hukum baru yang terjadi dikemudian hari. Dari tangan Imam Syafi’i lahir ribuan ulama yang konsen menafsirkan, menjabarkan, dan mengembangkan pemikiran beliau dalam ribuan halaman karya dibidang hukum Islam. Tidak heran jika dinamika perkembangan Madzhab ini melampaui Madzhab lainnya.
Buku yang terdiri tiga jilid yang ditulis Prof. Dr. Wahbah Zuhaili ini, memuat ribuan kasus yang terjadi masyarakat, yang dibidik dengan aturan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan yang bersumber dari al-qur’an, as-sunnah, ijma’ ulama dan qiyas serta hasil ijtihad Imam Syafe’i dan murid-murid beliau.

Secara garis besar, Masterpiece Prof. Dr. Wahdah as Zuhaili ini disusun dalam lima bab. Sebagai pendahuluan, pembaca akan diajak menelusuri biografi dan pemikiran hukum Imam Syafe’i. Selanjutnya secara sistematis, Prof. Wahbah mengurai secara detail hukum thaharah dan ibadah, pada bab satu. Bab dua menyajikan hukum muamalah konferensional dan syari’ah berikut transaksinya. Bab ketiga memaparkan hukum keluaga Islam. Kemudian pada bab empat berisi hukum Hadd, Jinayah, dan Jihad, terakhir. Bab lima, mengulas aspek peradilan Islam.

Dalam buku fiqih Imam Syafe’i ini diperkaya dengan penjelasan hikmah dibalik penetapan sebuah aturan syariat, penjelasan terperinci atas setiap topik bahasan, dan pemberian contoh-contoh lengkap dengan dalilnya. Penulisan buku ini berpatokan sepenuhnya pendapat Imam Syafe’i yang lebih valid yang terdapat didalam Majmu’dan minhajnya, dan tidak merujuk pada kitab al-raudhah dan sebagainya. Tujuan agar madzhab ini dapat menjadi jelas bagi kalangan awam. Apalagi, penyajian Fiqih perbandingan yang dilakukan terlalu dini tampaknya lebih sering hanya akan memunculkan kebingungan serta menhancurkan keselarasan hukum syaiat.

Jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainya, fiqih merupakan ilmu yang paling lurus dan matang. Dengan fiqih, syariat islam telah menjadi salah satu sumber penetapan syariat yang sekaligus dapat diterima disetiap waktu dan tempat. Karena itu, fiqihlah yang telah menghimpun antara ajaran pokok dengan hal-hal yang menjaman serta menghimpun antara upaya untuk menjaga berbagai macam sumber syariat yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis dengan berbagai macam pekembangan dan perubahan yang terjadi, yang tujuannya adalah untuk mengindentifikasi hukum halal-haram dan demi menggapai kemaslahatan bagi umat manusia dan kebutuahan mereka disepanjang zaman. Karena fiqih memang terlahir dari dasar-dasar dan berbagai sumber yang kokoh demi tujuan syariat yang universal.

Dengan demikian, buku yang sangat mengagumkan ini patut menjadi rujukan umat Islam, baik untuk dijadikan leterasi dalam dunia akademik maupun sebagai pandangan hidup dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Sehingga, mampu membedakan dari hal-hal yang diperbolehkan dengan yang tidak diperbolehkan oleh agama. Wallahu a’lam bi al-showab.

Penulis adalah Aktif Pada Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Read More “Imam Syafe’i dalam Yurispundensi Islam”
ad

Jejak Pengunjung

Mengenai Saya

Foto saya
saya adalah alumni pesantren desa yang jauh dari heruk pikuk informasi dan teknologi, jadi saya berkomitmen untuk memakmurkan pesantren dalam rangka memberdayakan masyarakat kecil

Labels